Biarkan Kabut Itu

Dapatkah kau rasakan
betapa pilunya hati ini
Mentari yang tadinya bersinar terang
Kini gelap, berselimut kabut

Biarkanlah!

Biarkan kabut It
Aku bahagia bersamanya


Dari sisi timur sirkuit Sentul, Amel memperhatikan Hendry yang mengendarai sepeda motor bernomor 67. Jelas sekali terlihat di wajah Amel kegelisahan. Sesekali mulutnya komat-kamit membaca doa.


“Udah, Mel, tenang aja! Gue yakin Hendry bisa ngelakuinnya dengan baik. Dia kan bukan orang baru,” Renny mencoba menghibur Amel.

Amel hanya menjawabnya dengan senyuman, meskipun tidak bisa dibohongi, di wajahnya masih terlihat ketegangan.

Pada putaran pertama dan kedua Hendry berhasil memimpin di depan. Tapi memasuki putaran ketiga terjadi persaingan sengit antara Hendry dan Robby. Bahkan ketika berada di tikungan, motor yang dikendarai Robby berhasil memepet dan melewati Hendry, membuat Hendry kehilangan keseimbangan. Hingga akhirnya sepeda motor yang dikendarai Hendry tergelincir.

Cut!” teriak Nagayoshi, Sutradara di sinetron ini. “Coba dicek lukanya Hendry parah apa nggak?” lanjutnya pada Tommy, astradanya.

Tommy dan beberapa crew segera menghampiri Hendry.

“Nggak apa-apa kok, tenang aja. Kan waktu jatuh tadi kecepatannya udah gue kurangi. Ya, Cuma luka-luka kecil aja, “ Hendry berusaha meyakinkan Tommy dan para crew yang berusaha menolongnya.

“Beneran, Lu, gak apa-apa?” Tommy meyakinkan.

“Suer… bisa lanjut kok,”

“Gimana, Tom?” Nagayoshi meyakinkan.

“Gak ada masalah. Bisa dilanjut.”

“Okey, kalo gitu sekarang take waktu Hendry mendirikan motornya lagi.”

Cameraman sudah bersiap-siap.

“Gimana, Hend? Siap?!” tanya Nagayoshi.

Oke!” jawab Hendry.

Oke! Semuanya siap?! Camera…. Action!”

Hendry berusaha berdiri kembali, kemudian mengendarai sepeda motornya. Dengan semangat juang tinggi Hendry berhasil memasuki finish dan menjadi juara.

Cut!” teriak Nagayoshi. “Naya sudah siap, Tom?”

“Sudah, Mas. Tuh dia,” jawab Tommy seraya menunjuk ke arah Naya yang sedang jalan menuju ke arah mereka.

Scene saya ya, Om?” tanya Naya.

“Iya, Nay. Nanti setelah Hendry melewati garis finish kamu langsung berlari menyambutnya. Oke?”

“Siap.”

Oke, Hend…. Kita ulang waktu kamu memasuki garis finish.”

“Setelah Hendry memasuki finish, camera langsung pan right ke arah Naya. Oke?” Nagayoshi memberi intruksi pada cameraman.

Hendry dan bebrapa pembalap lainnya sedang bersiap-siap.

Oke, Ready?” Camera… action!”

Hendry memasuki garis finish dengan gembira. Kedua tangannya diangkat ke atas, tanda bahagia.
Dari kejauhan terlihat Naya yang sedang berlari menuju ke arah Hendry. Kemudian Hendry menyambutnya dengan senang.
Hendry membuka helm yang dikenakannya. Dengan penuh kebahagiaan Hendry memeluk Naya.



“Selamat, ya!” ujar Naya sambil mencium Hendry.

Dari sisi timur Amel dan Renny masih memperhatikan jalannya shooting. Kali ini sudah terlihat ketenangan di wajah Amel. Tapi berbeda dengan Renny, dia sebel banget ngeliat Naya.

“Liat tuh si centil! Kesempatan tuh… Mentang-mentang shoot-nya adegan mesra, eh sengaja, deh, dipuas-puasin buat meluk en nyium Hendry,” Renny memberi komentar.

“Biarin aja. Lagian dia begitu kan emang udah tuntutan scenario,” Amel menanggapinya dengan santai.

“Ah, elu emang selalu gitu. Ntar kalo udah diserobot dia baru, deh, mencak-mencak.”

“Udah, ah! Nggak gak usah ngomongin dia melulu. Ntar yang lagi shooting jadi nggak konsentrasi.”

“Ya, udah. Terserah lu deh...” Renny cemberut.

***

“Masih cemberut?” tanya Amel sambil mengeringkan rambutnya dengan hair dryer.
Renny tidak bereaksi. Wajahnya makin tidak enak dipandang.

“Jadi ceritanya elu marah nih?”

Renny masih belum menjawab. Dia mengganti-ganti channel TV sambil marah-marah.

“Ya, sorry, deh, kalo gue bikin salah lagi. Lu mau 'kan maafin gue?” Amel duduk di samping Renny.

“Udah, deh, nggak ada yang perlu dimaafin. Gue Cuma kecewa aja ama lu,” Renny mematikan TV. “Sebenarnya jujur aja, deh, lu cinta nggak sih ama Hendry?” lanjutnya.

“He-em,” Amel mengangguk.

“Banget-banget?”

“Emangnya kenapa?”

“Gue heran aja ama lu. Cowok buaye gitu lu demenin.”

“Lu salah, Ren. Dia tuh bukan type cowok kayak gitu. Gue yakin kalo dia juga cinta ama gue.”

“Cinta?” Renny menggerutu. “Darimana kalo lu bisa yakin dia juga cinta ama lu?”

“Ren… gue ama dia shooting udah setahun lebih. Emang gue ama dia belum resmi jadi pacar. Tapi gue bisa ngerasain kalo sebanernya dia juga cinta ama gue.”

“Darimana lu tau?”

Amel menerawang. “Dari sorot matanya. Dari perhatian dia. Dan yang pasti, gue pernah dekat dengan dia. Dari situlah gue semakin tau kalo dia juga punya perasaaan yang sama dengan gue.”

“Iya, Tapi itu kan waktu episode-episode awal. Waktu itu juga belon ada Naya. Tapi setelah Naya masuk? Apa lu masih ngerasain itu semua?”

“Iya!” jawab Amel mantap.

“Gile!” Udah tau dia lebih sering akrab sama Naya. Kok elu masih bisa bilang gitu?”

“Gue tau sifat Hendry. Dia dekat sama Naya, akrena hanya sebatas pendekatan peran. Lu tau kan Naya itu pendatang baru. Jadi masih butuh bimbingan.”

“Kalo hanya untuk ngebimbing kan masih ada yang lain. Kenapa harus Hendry?”

“Ya itu tadi. Pendekatan peran. Mereka kan berperan sebagai sepasang kekasih. Jadi Hendry nggak mau kalo dia ada jarak dengan Naya. Dan gue liat jika mereka sedang berdua masih dalam batas wajar-wajar aja.”

“Ya, itu kan yang lu liat. Tapi diluar itu?” Bisa aja kalo lagi nggak shooting mereka pergi berdua. Dan? Pacaran!”

"Mungkin juga sih... Tapi gue tetap masih yakin kalo mereka nggak pacaran."

“Oke, mungkin argumen lu benar. Tapi ingat lho! Naya gadis yang cantik dan agresif. Kalo dia terus memburu, jadi deh, pepatah ; mana ada kucing yang nolak dikasih ikan?”

Kali ini Amel tidak bisa menjawab. Diam-diam dia membenarkan kata-kata Renny. Mungkin mulanya Hendry biasa aja, tapi kalo dikejar terus? Batinnya.

***

Sesaat langkah Amel terhenti. Matanya tertuju pada Hendry dan Naya yang duduk di pelaminan.

“Ayo, jalan,” Renny mengingatkan.

“Eh, iya,” jawab Amel gugup.

Amel dan Renny menuju pelaminan. Berpasang-pasang mata memperhatikan mereka sambil berkasak-kusuk.

Hendry dan Naya berdiri. Hendry jadi serba salah, karena dia sama sekali tidak menduga kalau Amel akan datang. Soalnya yang dia tahu Amel tidak disetujui berpacaran dengannya, kemudain dikuliahkan di luar negeri. Sejak itulah Hendry tidak pernah bertemu dengan Amel. Bahkan kabar terakhir dia mendengar Amel sudah merried dengan cowok pilihan orang tuanya.

“Selamat ya, Hend… Semo…”


CUT!” teriak Nagayoshi. “Kok Hendry sih?”
Oh, maaf, Om. Lupa,” jawab Amel gugup.

“Oke, kita take ulang. Tapi ambil medium long shot aja. Oke? camera? …. Action!”

“Selamat ya, Ros.. semoga kamu…”

Cut! Cut!” teriak Nagayoshi lagi. “ekspresinya dong, Mel! Biar bagaimana pun kamu harus terima kenyataan bahwa ini semua bukan salah Eros. Kamu harus mengikhlaskan dia, meskipun dalam hati kamu masih mencintai dia. Oke?”

Oke, Om. Sorry, ya, Hend?” ujar Amel, malu.

“It’s oke. Tenang aja. Jangan lupa kamu lagi shooting. Singkirin dulu masalah yang ada diluar. Konsentrasi,” Hendry menenangkan.

Konsentrasi?! Kamu enak aja bilang gitu. Coba, dong kamu ngertiin perasaanku. Mana bisa konsentrasi, kalau pikiranku lagi amburadul gini, Amel membatin.

“Oke. Kita mulai lagi. camera? …. Action!”

“Selamat ya, Ros. Semoga kamu bahagia,” Amel menjabat tangan Eros. Amel tidak sanggup lagi menahan kesedihannya. Dengan mata berkaca-kaca dia berlari meninggalkan Hendry.

Cut!” teriak Nagayoshi.

Semua bertepuk tangan. Crew dan seluruh pemain saling bersalaman. Karena ini adalah shooting terakhir.

Sorry ya, Hend, tadi aku nggak konsen,” Amel menghampiri Hendry.

“Nggak apa-apa. Yang penting 'kan sekarang udah beres.”

“Oya, Hend.. aku ada perlu ama kamu.”

“Sekarang?”

“Iya.”

“Hend, Amel, gue duluan, ya,” Naya pamitan.

“O, iya,” jawab Amel dan Hendry serantak.

“Mel, gue tunggu di kamar, ya,” ujar Renny. “Hend, titip, ya,”

Hendry hanya menjawabnya dengan senyuman.
Hendry dan Amel berjalan menuju lobby hotel.

“Kamu pesan apa?” tanya Hendry.

“Jus strawbery,”

“Saya, Orange jus,” Hendry memesan pada waitress.

“Sekali lagi aku minta maaf lho, Hend. Gara-gara aku shooting tadi jadi lama.”

“Itu kan dah biasa. Kadang-kadang mood, kadang-kadang nggak. Jadi nggak usah dipermasalahkan.”

Amel memandangi wajah Hendry. “Kamu tau kenapa aku nggak konsen?”

“Nggak tau,” Hendry menggeleng. Dia tersenyum ketika beradu pandang dengan Amel.

“Apa kamu selalu begitu? Nggak mau tau tentang aku?”

“Maksud kamu?”

“Boleh tanya nggak?”

Hendry kembali memandang Amel.

“Sorry lho! Kamu ada hubungan khusus nggak ama Naya?”

Hendry diam, dia mencoba mengalihkan pertanyaan Amel dengan meminum orange juice-nya.

“Kenapa diam.” Amel penasaran.

“Harus dijawab?”

“Ya iyalah… masak pertanyaanku dicuekin.”

“Kalo yang kamu maksud hubungan khusus itu adalah pacaran, dengan tegas aku jawab…” kembali Hendry menatap Amel.

“Kok nggak dilanjutin?”

Hendry mengelengkan kepala.

“Maksud kamu... kamu nggak pacaran dengan Naya?”

“Nggak, Mel…”

“Main-main?”

“Aku sama Naya Cuma sebata teman. Aku berusaha agar waktu shooting nggak ada jarak. Ya, sebatas pendekatan peranlah. Nggak lebih!”

Sorry, aku terlalu ingin tau.”

“Sekarang udah puas?”

”He-em. Oya, Hend…. Meskipun dalam sinetron ini kita udah nggak kerja sama lagi, tapi aku minta kamu jangan lupain aku ya?”

Tatapan Hendry seketika berubah jadi dingin. Ada sesuatu yang ingin dia ungkapkan, tapi entah kenapa mulutnya seakan tersumbat.

“Kamu mau janji nggak akan ngelupain aku?”

Hendry mengangguk, pelan.

Amel menggenggam tangan Hendry. “Thanks, ya…” ujar Amel seraya pergi meninggalkan Hendry.

Hendry masih tekesima melihat tingkah Amel yang aneh. Dia hanya bisa memandangi Amel dengan penuh tanda tanya.

***

Hendry merebahkan tubuhnya di spring bed. Sebenarnya malam ini dia ingin beristirahat. Maklumlah shooting di luar kota memang sangat melelahkan. Tapi entah kenapa baru saja dia mencoba memejamkan mata, tiba-tiba terbayang kembali kata-kata Amel. “Meskipun dalam sinetron ini kita udah nggak kerja sama lagi, tapi aku minta kamu jangan lupain aku, ya…”

Hendry menatap langit-langit kamar. Pikirannya menerawang. Sebenarnya kalau au jujur, dia juga ingin mengucapkan kaliat-kalimat itu pada Amel.

Sejak pertama Hendry bertemu dengan Amel, Hendry erasakan ada yang lain di hatinya. Amel mirip sekali dengan Chitra, kekasihnya yang sudahn tujuh tahun lalu. Mulai dari wajahnya, cara dia bicara, berjalan, sampai bentuk tubuhnya. Hendry sempat mengira kalau Amel kembarannya Chitra.

Mulai dari pertemuan itulah Hendry terlihat ceria kembali. Dia seakan menemukan kembali Chitra-nya. Sejak itu pula cintanya dicurahkan pada Amel.

Tapi lama kelamaan Hendry sadar kalau Amel bukanlah Chitra. Dia hanya terjerembab dalam imajinasi cinta. Itulah sebabnya setelah kehadiran Naya, Hendry sengaja mengalihkan perhatiannya pada artis pendatang baru itu. Hendry berharap Amel tidak mendekatinya lagi.

"Aku gak tau, apakah aku benar-benar mencintai Amel atau hanya karena rasa rinduku pada Chitra? Yang pasti aku bahagia bisa berteu dengan Amel," bisik hatinya.

"Tapi aku minta jangan lupain aku, ya...." Kata-kata itu selalu saja memenuhi ruang telinga Hendry, bersamaan dengan bermain-mainnya wajah Amel di peulupuk matanya.

"Apakah aku harus melanjutkan hubunganku dengan Amel? Lalu bagaimana dengan janjiku pada Chitra? Aku pasti akan dicap cowok nggak setia," pikirnya.

"Aku rasa malah sebaliknya. Selama tujuh tahun kamu hidup dalam kesendirian, penuh kesetiaan. Tapi apa sesungguhnya yang kamu alami? Kesedihan, kemurungan, nggak ada keceriaan. semuanya berjalan dengan semu. Hanya sebatas akting. Apa kamu pikir selama ini Chitra nggak bersedih melihat kekasihnya seperti itu?" bisik kata hatinya.

"Iya! Tapi kalo aku pacaran dengan Amel, itu artinya aku mengkhianati janjiku pada Chitra."

"Trus?! Kamu mau hidup dalam kesendirian sampai mati?!

"Demi kesetiaan... iya!"

"Gila!"

Hendry bangkit dari tidurnya. Dia segera merapihkan barang-barangnya, dan bergegas kembali ke Jakarta. Dan didalam hatinya sudah ada tekad yang membara. Aku tidak akan pernah mau berhubungan lagi dengan Amel. Semoga kamu mengerti. Biarkanlah kabut itu. Aku bahagia bersamanya.


The end


The Blue Page's
, Anita Cemerlang - edisi no 29 / th 1997


Note : Ini merupakan versi lain dari "Biarkan Kabut Itu" yang pernah dimuat di Harian Terbit Minggu, 1988. Versi lain Anita Cemerlang ini hanya sebatas kesamaan ide dan judul. Setting, nama-nama tokoh dan cerita telah berubah total.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biografi Sugoy Suhendra

DIBUTUHKAN HOST PROGRAM TV