Kupu-Kupu di Puser (Cerpen STORY edisi 3, September '09)



Kupu-kupu yang indah
Kenapa kamu ada di puser
Bukankah kamu punya sayap
Kalo punya
Kenapa harus hinggap di puser

Kupu-kupu
Sayapmu yang indah harusnya penuh warna
Kenapa sekarang hanya warna hitam
Kemana perginya warna indahmu
Aku merindukan keindahanmu
(Lembaran Biru, 3 Mei 2009 – ketika aku melihat Tattoo kupu-kupu di puser seorang gadis)

Yogi tersenyum membaca berbagai komentar dari teman-temannya tentang “Kupu-Kupu di Puser” yang sengaja ditulis dalam catatan Yogi di facebook. Ada yang comment ; “Mau dong… pusernya, eh kupu-kupu di puser.” Atau, yang komentar kayak gini, “kalo gue bisa memiliki kupu-kupu di puser gadis itu, pasti akan gue jadiin dia bidadari yang akan gue sayang seumur hidup.” Ada juga yang komentar begini, “Kupu-kupu di puser? Hati-hati ‘ntar pusernya bodong. Wakakak.” Tapi, ada satu komentar yang paling berkesan buat Yogi. Yang ini, “aku, kupu-kupu di puser. Meskipun aku punya sayap, sengaja aku nggak hinggap di bunga. Karena aku ingin selalu di dekatnya. Agar aku selalu disayang dan dimanja. Dari: aku, yang selalu merindukan kasih sayang.” Komentar ini ditulis teman yang baru di-approve Yogi beberapa jam lalu.

YapZ! Yogi memang baru aja meng-konfirmasi Irene, gadis pemilik tattoo kupu-kupu di puser, untuk ditambahkan ke dalam facebook-nya. Yogi ketemu Irene kemarin, waktu shooting sinetron Mata Telaga.

“Yo, ini yang jadi Sarah,” Imam, asisten sutradara di sinetron itu memperkenalkan.

Yogi yang semula membaca scenario mengalihkan pandangannya pada gadis cantik yang mirip Luna Maya itu.

“Irene.” Gadis yang memakai tank top dan celana pendek, mengulurkan tangan pada Yogi, sambil mengumbar senyum manisnya.

“Yogi.” Yogi membalas uluran tangan Irene. Yogi senang banget ngeliat senyum Irene (padahal sih senyumnya biasa-biasa aja. Mungkin lantaran Yogi lagi sebel sama Stella. Jadinya senyum Irene bisa bikin hati Yogi senang).

Nggak tau tuh, kenapa akhir-akhir ini Stella sering uring-uringan dan ngambek yang nggak jelas gitu. Masalah kecil aja, bisa bikin ribut. Kayak kemarin itu. Sebelum Yogi berangkat ke lokasi shooting, mereka sempat ketemuan dulu di sekolah, secara mereka satu sekolah and satu kelas. Waktu Yogi mau pamit, eh.. Stella minta Yogi mengikat rambut Stella yang terurai menjadi satu.

“Ya ampun…. Masa ngikat rambut aja mesti aku yang ngiketin, sih? Lagian aku dah telat, Stell,” Yogi menolak.

“Tapi aku pengen kamu yang ngiketin. Baru kali ini kan, aku minta kayak gini,” ujar Stella manja. Yogi menarik nafas. Meskipun dengan terpaksa, Yogi mau juga ngiketin rambut Stella yang panjang.

Yogi sebel banget, karena akhir-akhir ini, Stella juga sering memaksakan kehendak. Pokoknya apa yang dia mau, harus dituruti. Kalo nggak dituruti, pasti ribut. Makanya pas ketemu Irene, hati Yogi agak terhibur. Apalagi Irene supel dan murah senyum. Belum lagi matanya yang indah, mengingatkannya pada sebuah telaga yang bening. Satu lagi yang nggak mungkin bisa dilupain Yogi, Tattoo kupu-kupu di puser Irene. Yogi melihatnya saat mereka shooting bareng di fitness. Saat itu, Irene sedang treadmill. Karena banyak pergerakan, so pasti puser Irene kelihatan. Nah, saat itulah, Yogi melihat tattoo kupu-kupu di puser gadis berkulit putih itu.

“Ah, udah, ah… kok jadi keinget Irene terus..!” Yogi menggumam. Dia segera mengalihkan pandangannya ketika ada massage yang baru masuk di facebook-nya. Yogi meng-klik pesan masuk, ada kiriman dari Irene. Wow! Yogi teriak gembira. Dia segera membuka pesan dari gadis yang masih turunan bule itu.

“Lagi ngapain, Yo? Aku baru selesai shooting iklan. Sekarang mo otw rumah.”

Yogi segera membalas, “aku lagi buka laptop, sambil baca-baca coment di FB…” Yogi berhenti mengetik. Dia confuse. Sebenarnya dia mau ngajak ketemuan, tapi ragu-ragu.

Untunglah, keragu-raguan cowok atletis itu nggak berlangsung lama, ketika tiba-tiba, ada ‘pemberitahuan’ yang masuk. Yogi segera meng-klik kotak kecil yang ada di sudut kanan bawah layar facebook, “ Irene mengirim pesan untuk anda.” Dengan penasaran, Yogi buru-buru meng-klik ‘pesan masuk’, dan membaca pesan dari Irene, “Aku gak jadi pulang. Lagi boring and bete. Mau refreshing dulu, ah.”

Seperti mendapat inspirasi, Yogi segera membalas pesan Irene, “Ketemuan aja, yuk… Aku juga lagi bete.” Klik! Yogi meng-klik ‘kirim’.

“Wah.. ok juga tuh.” Balas Irene.

“Aku mandi dulu ya, trus meluncur, deh.” “Ok. C U.” Yess!!! Yogi segera sign out dari facebook, dan bergegas ke kamar mandi.

***

Irene menikmati makanan di Jimbaran Café, Ancol. Yogi juga. Tapi Yogi lebih senang memandangi kecantikan wajah Irene, yang malam ini memakai baju warna merah.

“Hai, ngeliatin terus?!” tegur Irene.
“Eh, hm, sorry. Kangen aja.”
“Kan sekarang udah ketemu?”
Yogi mengangguk, “malam ini aku merasakan suasana yang berbeda. Surprise!. Kalo boleh jujur, tadi aku lagi buka-buka FB. Baca comment-comment tentang note aku, Kupu-Kupu di Puser. Aku jadi kangen ama kamu, eh.. tiba-tiba kamu kirim message, trus kita ketemuan. Surprise, kan?”

“Oya?! Segitunya?”
Yogi mengangguk. “Malam ini benar-benar malam yang menyenangkan.” Yogi menggenggam jemari tangan Irene.

“Aku juga senang, bisa Candle light dinner sama kamu.” Rona mata Irene memancarkan kebahagaiaan.
“Semoga ini bukan yang pertama dan terakhir, ya? Aku gak mau kehilangan kebahagiaan seperti ini.”
“Hei, baru first date gak boleh ngomong kayak gitu. Kita jalanin aja. Ok?” Irene mengumbar senyum manisnya.

Tiba-tiba handphone Yogi berdering. Telepon dari Stella.
Irene memperhatikan ekspresi Yogi yang nggak suka mendapat telepon. “Kok nggak diangkat?” tanya Irene, lembut.
“Biasa, penggemar gila.”
“Yakin?” goda Irene.
“Suer! Aku juga heran tau darimana kali nomer hpku.”
“Yaudah diterima aja. Nggak baik lho, nyuekin penggemar. Kita jadi terkenal juga kan, karena penggemar.”
“Iya, sih… Tapi kadang bete juga kalo penggemarnya nggak bisa dibilangin. Ngejar terus.” Irene tersenyum, berusaha menghidupkan suasana.
“Nggak usah bete gitu dong. Smile, please,” goda Irene.
Yogi tersenyum, meskipun terkesan dipaksakan.

***

“Kamu dimana, sih?! Susah banget ditelponnya?!” Stella marah-marah.
“Sorry, Stell. Tadi ‘kan lagi shooting,” Yogi berusaha menjelaskan, sambil merebahkan tubuhnya di spring bed.
“Pokoknya aku nggak mau kamu kayak gitu lagi. Aku ‘kan kangen.”
“Iya, iya. Sori, aku mandi dulu, ya.”
“Ntar dulu! Aku masih kangen, nih…!”
“Badanku dah gak enak, Stell. Aku mau mandi.”
“Heem..hm! Yaudah, deh. I love you.”
“Iya.”
“Kok nggak dijawab, sih?!”
“Iya, I love you.
“Bye!”
“Bye.” Yogi menutup handphone-nya.

Yogi makin bete aja dengan kelakuan Stella. Sebenarnya dia mau mutusin hubungan sama teman sekelasnya itu. Tapi nggak tega.

Yogi menenggelamkan wajahnya ke bantal. Dia teringat kembali awal mereka jadian. Waktu itu, acara prom night. Karena temanya the famous couple, akhirnya terpaksa Yogi dan Stella berpasangan. Secara, mereka sama-sama jomblo. Sebenarnya banyak, sih, yang mau jadi pasangan Yogi. Tapi Yogi lebih memilih Stella, gadis smart yang selalu rangking pertama di sekolahnya. Malam itu, mereka terpilih sebagai best couple. Ternyata chemistry malam itu terus berlanjut. Mereka pacaran. Yogi suka dengan Stella, karena selain pinter, dia juga pengertian dan baik. Makanya Yogi merasa klop banget. Selama satu semester, perjalanan cinta mereka baik-baik aja. Tapi memasuki bulan ketujuh, barulah Stella sering bertingkah seperti anak kecil, pengen dimanja, gampang ngambek, dan cenderung gak pengertian, plus egois. Pernah beberapa hari Stella nggak masuk sekolah, katanya sakit. Eh.. pas Yogi besuk ke rumahnya, ternyata cuma mimisan (baca : dari hidungnya keluar darah).

“Abis kamu sekarang dah gak perhatian kayak dulu lagi. Sibuk terus ama shooting. Kalo aku gak sakit, pasti kamu gak nyempetin ketemu aku,” ujar Stella manja.
“Namanya juga sinetron kejar tayang, shooting-nya ‘kan tiap hari,” Yogi menjelaskan.
“Tapi kamu jadi gak punya waktu buat aku. Boro-boro buat aku, buat sekolah aja susah.”
“Abis mau gimana lagi. Kita ‘kan harus konsekuen and professional.”
“Iya, Iya… Tapi jangan lupain aku, dong.”
“Iya, sayang.”
“Gitu dong. I love u.”
I love u.

Yogi membalik badannya, kemudian memandang langit-langit di kamarnya. Dia semakin bingung. Wajah Stella dan wajah Irene silih berganti memenuhi ruang pikirannya. So, what can I do?

***

CUT! Good!!” teriak sutradara sinetron Mata Telaga. “Next scene!
“Yo, Ren… kita take scene 35 ya, di taman,” ujar Imam.
“Ok,” jawab Yogi dan Irene bersamaan.
Para crew mulai men-set lighting dan properti di taman. Sedangkan Irene dan Yogi menunggu sambil duduk di kursi.

Acting kamu ok banget,” puji Yogi.
“Kan kamu yang ngajarin,” jawab Irene.
“Bisa aja.”
“Ih… beneran. Dulu tuh aku nge-fans banget ama kamu. Makanya aku suka nonton sinetron-sinetron kamu, sekalian belajar aktingnya.”
Realy? Dulu nge-fans sama aku?”
“Iya.”
“Kalo gitu, sekarang dah nggak dong.”
“Ya masihlah. Tapi sekarang ‘kan jauh lebih menyenangkan, karena aku bisa jadi pacar kamu.”
“Aku juga senang bisa selalu di dekatmu.”

Ringtone “Lucky” Jasson Mraz terdengar dari handphone Yogi.
Irene melihat ekspresi Yogi, sama seperti waktu di Jimbaran Café, terlihat nggak suka.
“Dari penggemar gila lagi, ya?” goda Irene.
Yogi melihat ke layar handphone-nya, panggilan dari Stella.
“Penggemarmu namanya Stella?”
“Sebentar, ya,” Yogi minta ijin pada Irene. Kemudian bicara di handphone. “Hallo? Iya… Oh, Tante. Sakit apa, Tante? Iya, Tante. Sekarang masih shooting. Kalo udah selesai saya ke sana. Iya, Tante.”

“Penggemarmu sakit?” Irene, penasaran.
“Iya,” jawab Yogi.
“Ren, Yogi, take yuk!” Imam memberitahu untuk segera shooting.
Irene merasa penasaran, karena Yogi belum sempat menjelaskan tentang telpon dari ‘penggemar gila’-nya itu. Tapi Irene nggak mau memaksa, dia khawatir merusak konsentrasi shooting.

***

“Tumben kamu diem aja, nggak suka, ya, nganter aku pulang?” tanya Irene
“Eh, sori, suka kok,” jawab Yogi sambil mengemudikan mobilnya.
“Kok diem terus?”
Yogi menoleh sebentar, kemudian kembali melepaskan pandangannya ke jalan di depannya.
“Kamu nggak mau cerita tentang penggemar gilamu?”
Yogi masih diam. Dia bingung.
“Cerita aja. Aku gak akan marah. Sure!”

Yogi menarik nafas. Memandang Irene sebentar, kemudian, “Beneran, kamu nggak marah kalo aku jujur sama kamu?”
“Kamu tuh funny. Masa orang jujur dimarahin.”
“Ok, Ok! Aku gak tau harus mulai darimana. Tapi aku mau jujur sama kamu.” Yogi memandang Irene….. “I have girlfriend.”

Irene mencoba mengendalikan perasaannya, “Realy?”
Sorry, selama ini aku nggak bilang ke kamu.” Yogi menghentikan mobilnya di pinggir jalan layang tol dalam kota, “karena aku gak mau, kalo kamu tau, terus kamu mutusin hubungan kita. Aku gak mau kehilangan kamu.” Yogi menggenggam jemari tangan Irene.

Irene nggak menjawab. Terdiam, dan berusaha menutupi kegundahannya.
“Kamu nggak marah ‘kan?” Yogi meyakinkan.
Irene mengangguk. Kristal bening nyaris menetes dari sudut matanya.
“Aku mencintai kamu, Ren… Aku sayang kamu.”
Dada Irene semakin sesak menahan kesedihan. “Pulang yuk…. “ pinta Irene.

“Kamu kecewa?” pertanyaan bodoh pun akhirnya terlontar dari mulut Yogi (Ya iyalah, mana ada cewek yang nggak kecewa kalau ternyata cowok yang dicintainya udah punya pacar)

“Aku mau istirahat. Pulang yuk,” pinta Irene lagi, lembut. Tidak ada sorot kebencian di matanya, membuat Yogi semakin tak berdaya untuk menolak permintaannya. Yogi segera mengemudikan kembali mobilnya. Deru kendaraan dan lampu-lampu jalan menjadi saksi kebisuan malam ini. Sepanjang perjalanan Yogi dan Irene tak mengeluarkan kata-kata. Mereka larut oleh perasaannya masing-masing.

***

Stella sedang duduk di closet, sudah lebih dari 15 menit dia berada di situ. Darah menstruasi yang keluar masih cukup banyak.

“Mama….!” teriak Stella. Kakinya nggak bisa digerakkan, keram. Mama Stella segera menuju ke kamar mandi. Dia membantu Stella yang kesulitan menggerakkan kakinya. Dan masih terduduk di closet.

“Ma.. mens Stella kok banyak banget. Kaki Stella jadi keram,” ujar Stella sambil menangis. “Sabar ya, sayang. Kita ke dokter, ya.” Mama berusaha membantu anak gadis satu-satunya itu. Dia berusaha menutupi kepanikannya.

***

“Sejak awal aku udah bilang, aku paling benci laki-laki pembohong!” Irene terus berjalan.
“Maafkan aku, dengarkan dulu penjelasanku, Ren,” Yogi menarik tangan Irene.
Cut!!!” teriak sutradara. “Lho, kok Irene, sih?”
“Sorry, Sorry, Mas.” Yogi jadi malu. Dia nggak sadar menyebut nama Irene.

“Ok, kita take lagi. Camera?! Action!” instruksi sutradara.

“Sejak awal aku udah bilang, aku paling benci laki-laki pembohong!” Irene kembali berjalan.
“Maafkan aku, dengarkan dulu penjelasanku!” Yogi menarik tangan Irene.
“Penjelasan apalagi?! Semuanya udah jelas. Kamu pembohong!”
“Nggak! Kamu salah, Ren!” Lagi-lagi Yogi salah memanggil tokoh yang diperankan Irene.
Cut! Cut ! Sarah!!! Kok Irene lagi, Irene lagi. Ada ada apa, sih?!” sutradara mulai marah. Karena seharusnya Yogi memanggil Irene adalah Sarah, sesuai nama tokoh yang diperankan Irene.

“Sorry, Sorry, Mas.” Yogi bener-bener nggak konsentrasi.
Irene coba menyemangati. “Are you oke?” gadis cantik itu menebar senyum manisnya.

“Akh, its ok. Sorry.”
Consent, please!” Irene memberi semangat.
“Yapz!” Yogi mengatur nafas dan mencoba konsentrasi. Tapi tetep aja nggak bisa. Antara pikiran dan mulutnya nggak nyambung. Dari kemaren dia keinget Irene terus, karena sejak Yogi buka kartu, kalo dia udah punya pacar, Irene belum mau diajak berkomunikasi. Yogi jadi kebeban dan merasa bersalah. Makanya yang ada dipikirannya Irene lagi, Irene lagi.

Cut! Cut!!! CUT !!!!!” Sutradara kembali marah-marah, karena Yogi masih tetap salah menyebut tokoh yang diperankan Irene. “Break makan malam dulu, deh.”
“Sorry ya, Mas,” Yogi minta maaf.
“Abis break, kita lanjut lagi scene yang tadi. Kamu relax dulu, deh!” ujar sutradara muda ini. “Makasih, Mas.” Yogi segera mengejar Irene yang berjalan meninggalkannya. Dia ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk mengklarifikasi masalahnya.

“Ren, aku mau ngomong,” pinta Yogi.
Irene menghentikan langkahnya.
“Aku mau minta maaf.” Yogi berjalan disamping Irene.
“Nggak ada yang salah kok. Aku udah bisa terima semuanya.”
“Maksud kamu?”
“Aku hargai kejujuran kamu. Dan kamu nggak perlu takut kehilangan aku.”

Yogi makin nggak mengerti.
Irene menatap Yogi dengan penuh cinta. “Aku sayang kamu. Aku juga nggak mau kehilangan kamu.”
“Beneran?” wajah Yogi terlihat ceria.
Irene mengangguk, sambil tersenyum manis.
“Makasih, sayang… I love you. Much!” Yogi nggak bisa menahan rasa bahagianya.
I love you too,” jawab Irene.

***

Stella didiagnosa dokter mengidap penyakit ITP (Idiopathic Thrombocytopenic Purupura), suatu kelainan pada sel pembekuan darah yakni trombosit yang jumlahnya menurun sehingga menimbulkan perdarahan. Gara-gara penyakit itu, sudah tiga hari Stella nggak masuk sekolah,. Parahnya, Yogi nggak pernah besuk ke rumah Stella.

“Katanya Stella sakit. Kok kamu gak pernah besuk dia?” tanya Irene.
“Paling Cuma mimisan doang? Dia memang biasa gitu, manja,” jawab Yogi sambil mengemudikan mobilnya.
“Tapi gak ada salahnya ‘kan, kamu liat keadaannya?”
“Kok jadi ngebahas dia, sih?”
“Dia juga ‘kan pacar kamu. So? Dia juga butuh perhatian kamu.”

Ringtone “Lucky” Jasson Mraz “ terdengar dari handphone Yogi.
Irene melihat ekspresi Yogi, masih sama seperti waktu di Jimbaran Café, terlihat nggak suka.
“Terima aja, siapa tau penting.” ujar Irene.

“Hallo.” Yogi males-malesan menjawab telpon dari Stella.
“Hallo, Yo… Ini Tante.”
“Oh, Iya, ada apa, Tante?”
“Tante mau minta tolong, kamu bisa ke rumah sebentar,” pinta mama Stella.
“Hm.. gimana, ya?! Saya masih shooting.
Irene memberi isyarat agar Yogi memenuhi permintaan mamanya Stella.
“Tapi kalo shooting-nya cepat selesai, saya akan ke sana tante,” jawab Yogi.
“Oh, iya. Makasih ya, nak Yogi. Kasian Stella sakitnya makin parah.”

***

Yogi terkulai lemas di sudut kamarnya. Enam bulan merangkai cinta segitiga, membuat dia harus mengambil keputusan sekarang. Penyakit kekurangan trombosit yang diderita Stella, ternyata semakin parah. Obat-obatan yang dikonsumsinya justru berakibat buruk. Pipi dan tubuhnya jadi gemuk, Yogi nyaris nggak ngenalin. Dokter juga sudah memvonis hidup Stella nggak akan lama lagi.

“Maafkan aku, Ren. Aku gak sampai hati meninggalkan Stella. Apalagi selama ini aku telah mengkhianati cintanya. Di sisa hidupnya, aku ingin memberikan cinta yang tulus untuk dia.” Yogi memberanikan diri mengutarakan isi hatinya.
Mata Irene berkaca-kaca. Dia sedih mendengar keputusan Yogi, apalagi diiringi live perfomance biola yang malam itu mengalunkan lagu “Dealova” di Jimbaran café, ancol.

“Tapi kamu ‘kan nggak harus memutuskan hubungan kita. Aku rela kok kamu lebih banyak waktu untuk dia,” kata-kata itu keluar juga dari mulut Irene. Meskipun sejujurnya dia berat untuk berbagi cinta. Tapi rasa sayang dan cintanya yang tak pernah beralasan, telah membutakan hatinya.

“Nggak mungkin, Ren. Aku nggak sampai hati untuk terus mengkhianatinya. Dibalik semua kekurangannya, dia adalah anak yang baik. Aku minta maaf, nggak bisa melanjutkan hubungan kita.”

“Kamu jahat! Kamu mempermainkan perasaanku. Kenapa nggak dari dulu-dulu kamu pikirkan semua ini?! Kenapa kamu tega membiarkan rasa cintaku tumbuh begitu subur? Dan sekarang kamu juga yang menghancurkannya! Kamu benar-benar nggak punya perasaan!”

“Maafin aku, Ren. Aku yakin kamu bisa mengerti perasaanku. Kenapa aku berani mengambil keputusan ini, karena aku yakin kamu lebih tegar dari Stella.”
“Sok tau kamu! Kamu tuh nggak ngerti perasaan aku! Kamu jahat! Kamu egois!” Irene beranjak dari duduknya, dan pergi meninggalkan Yogi.

Yogi ingin mengejar, tapi dia menahan langkahnya. Percuma aja. Toh semuanya harus berakhir. Meskipun unhappy ending. Maafkan aku, sayang…. Kalo kamu tau, sebenarnya aku sangat berat berpisah denganmu, batin Yogi. Yah, mungkin sudah saatnya, perasaan lebih mendominasi dalam diri Yogi. Yah, bukan sekedar logika saja yang menaungi isi kepalanya. Sejahat apapun Yogi, pernah menyakiti ‘kupu-kupu’ di taman hatinya, tapi tetap saja, ada mahluk lain yang lebih membutuhkan dia dibanding Irene. Tak peduli kapan penyakit Stella akan terobati. Buat Yogi, ini adalah pilihan hatinya.

Kupu-kupu yang indah Kubiarkan kini kau lepas Karena aku tak sampai hati melihatmu teraniaya, terbelenggu Tapi satu yang membuatku bahagia, Wajah dan senyummu masih tetap terukir indah di hatiku


The End
Lembaran Biru, 17 Agustus 2009


Note :

Cerpen ini terinspirasi saat saya melihat tatoo kupu-kupu di puser seorang artis pendatang baru, dan dikolaborasi dari kisah nyata seorang gadis SMA yang mengidap penyakit ITP hingga meninggal di tahun 1997. Ceritanya sendiri fiktif tapi semua keluhan akibat penyakit kekurangan trombocyte itu sama dengan yang dirasakan gadis SMA yang aku baca di majalah Femina edisi th 1997.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biografi Sugoy Suhendra

DIBUTUHKAN HOST PROGRAM TV